Rabu, 03 Februari 2010

bisnis ala muslim

Afzalurrahman dalam bukunya yang berjudul, Muhammad : Encyklopedia of Seerah, bercerita bahwa ketika berusia 25 tahun, Muhammad diperkenalkan oleh pamannya Abu Thalib kepada saudagar kaya Khadijah binti Khuwailid dengan maksud untuk menjadikannya sebagai mitra usaha dalam menjalankan bisnis Khadijah. Khadijah menerima tawaran Abu Thalib dan memberikan kepercayaan kepada Muhammad untuk melakukan perdagangan ke pasar-pasar di Busra. Dalam kerjasama ini, Khadijah mendapat keuntungan yang dibagi dengan Muhammad. Hubungan kerjasama itu menurut suatu pendapat dilakukan dengan system bisnis bagi hasil atau yang dikenal dengan sistem Mudharabah. Khadijah merupakan pemilik modal atau shahibul maal sedangkan Muhammad adalah pekerja atau mudharib.


Dari sirah diatas, ulama fiqh mencari rujukan bagi keabsahan mudharabah. Menurut mereka, mudharabah yang bersifat lebih umum karena tidak secara khusus ditegaskan oleh Al-Quran dan hadist, dilihat dari sisi taqrir Nabi dimana Nabi dan para sahabatnya sering melakukan kerjasama diatas, adalah sebuah indikasi hukum atas dibolehkannya mudharabah. Kebolehan atau mubah dalam hokum islam berarti diizinkan untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, asyarakat muslim diberi kebebasan untuk memilih. Pilihan yang diambil tentunya harus dijamin terhindar dari norma-norma yang dilarang oleh kedua sumber hokum islam yaitu terjadinya praktek riba dan gharar. Penjabaran dari gharar meliputi tindakan eksploitatif, beresiko, maisir (ketidakpastian), dan spekulatif. Sedangkan penjabaran dari riba meliputi bunga bank seperti yang kita kenal sekarang. Oleh sebab itu, bisnis syaiah termasuk bank syariah, dikembangkan untuk menggantikan mekanisme bunga dalam transaksi keuangan denan core product bisnis yang diharapkan seperti mekanisme bagi hasil yaitu mudharabah dan musyarakah (penyertaan modal/modal ventura)
.
Berdasarkan kerangka hukum yang telah digariskan ulama madzhab terdahulu, dalam salah satu bukunya, Drs. Muhammad M.Ag. mengajukan beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam perjanjian mudharabah, yaitu :

1. Ijab dan Qobul, dengan syarat-syarat sebagai berikut :
• Harus jelas menunjukkan maksud untuk melakukan kegiatan mudharabah.
• Harus bertemu, artinya penawaran pihak pertama sampai dan diketahui oleh pihak kedua.
• Harus sesuai maksud pihak pertama dengan keinginan pihak kedua.

2. Adanya dua pihak (pihak penyedia dana [shahib al-mal] dan pengusaha [mudharib]).

3. Adanya modal, dengan syarat-syarat sebagai berikut :
• Modal harus jelas jumlah dan jenisnya dan diketahui oleh kedua pihak pada waktu akad mudharabah.
• Harus berupa uang, bukan barang.
• Uang bersifat tunai, bukan hutang.
• Modal diserahkan sepenuhnya kepada pengelola secara langsung.

4. Adanya usaha (‘amal).
5. Adanya keuntungan.

Namun, berdasarkan teori diatas, perbankan syariha kontemporer dengan prinsip mudharabah-nya dijadikan alternative perbankan modern, tetapi dalam prakteknya, dari survey yang pernah dilakukan, kebanyakan bisnis syariah, terutama bank syariah, masih mengedepankan produk dengan akad jual beli seperti mudharabah dan ba’I bithaman ajil (data produk mudharabah yang digunakan maksima 25% dari total pembiayaan di salah satu bank umum syariah), hal tersebut dapat terjadi karena beberapa persoalan, seperti :
1. Resiko bank yang ditimbulkan apabila menerapkan produk mudharabah cukup tinggi.
2. Tingkat kejujuran dan kemanahan masyarakat kita yang belum dapat diandalkan.

Selain itu ada beberapa alasan lagi, mengapa terjadi berbagai
problem dalam penerapan mudharabah, diantaranya :

1. Standar moral yang tidak memberi kebebasan penggunaan bagi hasil sebagai mekanisme investasi di komunitas muslim Indonesia, sehingga bank-bank syariah hanya akan memberikan dananya kepada rekanan (mitra) yang efesien dalam mengelola bisnis, jujur dalam melakukan transaksi, proyek usaha yang dijalankan profitable, dan pembiayaan tersebut umumnya untuk jangka pendek.

2. Ketidakefektifan model pembiayaan bagi hasil, karena tidak menyediakan berbagai macam kebutuhan pembiayaan dari ekonomi kontemporer dan kemungkinan untuk dilaksanakan ke dalam pembiayaan institusional menjadi terhambat. Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya permintaan pinjaman pemerintah untuk anggaran belanja dengan sistem bunga.

3. Berkaitan dengan segi biaya. Tambahan biaya yang dikeluarkan oleh bank yang digunakan untuk menjaga efektivitas operasional perbankan syariah kemingkinan akan menghasilkan biaya ekstra yang ditanggung oleh mitra (mudharib)ketika mengembalikan dana pembiayaan bagi hasil. Hal itu karena bank syariah kemungkinan besar akan meningkatkan kualitas pengawasan dengan menambah teknisi dan ahli manajemen untuk mengevaluasi proyek usaha yang dibiayai.

4. Segi teknis, dimana dari sisi nasabah banyak yang kesulitan dalam pembuatan catatan akutansi secara rinci. Belum lagi, perhitungan keuntungan sistem bagi hasil di bank harus mengikuti apa yang terjadi secara aktual dalam bisnis dan berubah-ubah.

5. Kurang menariknya sistem bagi hasil dalam aktivitas bisnis dan industri.

Namun, walaupun demikian, bank syariah mulai saat ini masih memikirkan cara-cara yang tepat dalam melakuakn analisa pembiayaan, khususnya yang berkaitang dengan konsep mudharabah, sehingga fungsi bank syariah dalam hal ini cukup berat, karena selain berfungsi sebagai intermediasi, juga dihadapkan pada fungsi sosialisasi informasi dengan melakukan da’wah kepada masyarakat, berkaitan dengan cara-cara yang terbaik bermu’amalat dalam islam.

Dikutip dari artikel prospektus majalah Salman, oleh Sartono, S.T
Read more "bisnis ala muslim..."
 

Free Blog Templates

Powered By Blogger

Blog Tricks

Powered By Blogger

Easy Blog Tricks

Powered By Blogger

Great Morning ©  Copyright by Beranda Bunda Ami | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks